Sebelum pagi dengan hal pertama seumur hidupku sebagai laki-laki, anakku lahir dengan cara operasi caesar/sesar, istriku harus melewatinya, dan ia tak boleh sendirian, aku pun harus ada disana sampai selesai!.

Selamat membaca!

kumandang adzan sepertinya akan segera menghiasi seluruh telinga, memanggil-manggil pagi dengan hangatnya, semakin membuat suasana semakin dekat, dekat dengan apa saja.

Baiklah aku masih disini, kembali ke tempat tidur menyebalkan namun penuh haru ini, semalaman aku tak bisa tidur, tapi sering sengaja tertidur, itu pun hanya beberapa menit saja, selebihnya masih sama, kontraksi yang dialami istriku semalaman membuatku tak bisa tidur nyenyak malam itu.

kurang lebih pukul 03.30 WIB, perawat sepertinya benar-benar menyerah kali ini menjawab pertanyaan 'bagaimana bu?' dariku semalaman itu, kali ini aku benar-benar mendapatkan jawaban tanpa ia sebut seperti apa jawaban pastinya. perawat waktu itu hanya keluar-masuk ruangan ini setelah memeriksa istriku, dilanjutkan cek detak jantung calon bayiku, pikirku dalam hati, semoga kalian baik-baik saja, aku tak bisa menjawab apapun, apalagi untuk bertanya lebih banyak lagi, perawat pagi itu jelas mengatakan, 'masih bukaan 1 semalaman ini pak, saya juga nggak tega ke bu Ratna', ia bu, lantas bagaimana? tanyaku pelan, sedang aku sudah benar-benar kelelahan, sudah lemah, tapi tak ada sedikitpun getaran-getaran akan tanda menyerah.

perawat keluar, sepertinya ia menghubungi Dokter Maria, dokter yang biasa menangani Ratna sejauh ini, aku menguping, aku mendengar hal yang tak mengenakkan dari obrolan mereka, seketika ruangan ini menjadi rumit, tak bisa ku jelaskan ketakutan-ketakutanku saat itu, hanya bisa 'bengong', benar-benar bodoh menghadapi hal pertama ini.

Perawat masuk keruangan kembali, membawa handphone yang sudah tersambung dengan Dokter Maria, beliau ingin bicara padaku, beliau amat hati-hati sepertinya, "Pak Fajar, begini.........", tak sampai beliau melanjutkan pembicaraannya aku pun memotong, "ia dok, bagaimana ini selanjutnya, Istri saya belum nampak kemajuan, masih bukaan 1 sejauh ini, semalaman ini", aku memberanikan diri, "ia pak.. sesegera mungkin kami harus melaksanakan operasi untuk menyelamatkan calon bayi bapak, pengecekan detak jantung terakhir sudah hampir lurus, bayi bapak sudah turun, tapi bukaan masih saja 1, kami harus segera mengambil sikap, saya harus bertanya pada Pak Fajar, Bu Ratna harus segera operasi pagi ini juga jikalau bapak setuju untuk itu, dengan singkat, tanpa pikir panjang, aku pun sudah tak tega melihat istriku, aku menjawab "saya setuju dok, apa saja yang harus saya siapkan?", beliau disana menghela nafas, sambil berkata, "alhamdulillah, yasudah nanti perawat akan membantu bapak untuk menindaklanjuti ini semua", aku kembali ke ruangan tempat istriku, dengan kondisi setengah sadar, ia bertanya, "bagaimana sayang?", "sudah tidak apa-apa, kamu harus segera operasi ya, pagi ini juga", "terus biaya, dan lain-lain", ia bertanya dan nampak murung, "sudah tidak apa-apa kamu tidak usah memikirkan itu, sudah kusiapkan", sambilku ku genggam erat kedua tangannya, aku coba untuk meyakinkan dia pagi itu.

diruangan sebelah tepat kami di IGD, ada pasien lain disebelah ruangan yang hanya disekat dengan kain, jadi siapapun bisa mendengarkan obrolan kami, bahkan dari sana walaupun ia tak melihat kami langsung ia pun ikut menyemangati kami, bahkan aku harus malu melihat semangat pasien itu yang berusaha meyakinkan istriku, dari sebelah ruangan ini ia berkata, "semangat ya mbak Ratna, operasi caesar/sesar disini sehat kok, nggak sakit mbak, sudah tidak usah khawatir, rezeki udah ada yang ngatur, toh tujuan dari pernikahan, berkeluarga ya adanya keturunan, mumpung calon bayinya sehat, dari pada saya", sambil berkata-kata dengan nafas yang begitu berat ia mencoba meyakikan istriku, istriku Ratna lantas menyela, "la mbaknya kenapa mbak?, bolehkah aku tahu", disebelah sana mbak itu terdiam beberapa saat, kemudian melanjutkan, "aku malah ini anakku sudah tidak ada di dalam mbak, ia sudah meninggal", innalillahi, kataku dalam hati, mendengar itu aku semakin ketakutan, air mataku tak tahan benar segera jatuh, ada orang yang masih bisa menyemangati orang lain disaat dirinya sedang (harusnya) bersedih, tapi tidak, dengan nafas beratnya ia melanjutkan "ini sudah gak bisa ditolong mbak, itu pun aku masih bukaan 2 dari semalam, aku sudah nggak bisa operasi karena sebelumnya aku melahirkan dengan cara operasi, ayo saling mendoakan wis, mbak Ratna semangat, demi anak mbak", Istriku menjawab "iya mbak makasi banget, mbak yang sabar ya mbak".

Pukul 05.30 WIB, aku ingat aku ada tanggung jawab mengajarku di sekolah, aku pun segera menghubungi Bapak Alim (TU Kepegawaian SMAIS), dalam whatsapp aku menjelaskan kronologi mengapa aku tak bisa kembali ke sekolah hari itu juga, alhamdulillah beliau justru menyemangatiku lewat pesan "ia.. semoga istri dan calon anak sehat ya pak, sudah kewajiban seorang suami mendampingi istri disaat-saat seperti ini", aku pun menjawab terima kasih Pak Alim semangat dan doanya, dilanjutkan aku menghubungi Ibu Tika selaku Waka Akademik/Kurikulum SMAIS, dengan pesan yang hampir sama ditambah tugas-tugas untuk anak-anak yang harus segera diinfokan agar kelas tak kosong.

"Kehidupan mestinya berlanjut, sebagiannya memang tak bisa ditunda, sepertiku yang berkesimpulan semuanya mempunyai Jatah diberi, tak ada yang harus diprotes lagi, Tuhan akan menolongku setiap hari".

Singkat cerita aku pun menandatangani semua berkas yang dibutuhkan untuk menindaklanjuti laporan sebelumnya, "aku sayang kalian semua" kataku dalam hati, sambil ku tanda tangani berkas itu, aku lemas seketika, entah apa yang aku pikirkan lagi selain mereka berdua sejauh ini, aku kembali ke tempat tidur, aku berkata pada istriku "kamu yang sabar ya, kamu akan menjalani operasi caesar/sesar".

Tak lama berselang, kami pun akan segera masuk ruang operasi, Istriku sudah memakai baju yang biasa dipakai operasi dirumah sakit, "kamu nampak cantik sayang, semangat ya", lantas aku menciumi keningnya, ia masih lemah, belum bisa 'nyambung' dengan apa-apa yang ku katakan, ia juga hanya bisa memegangi tanganku.

Aku membantunya menuju ruang operasi, dengan kursi roda ia berkata pada perawat, "mbak, suami saya harus ikut", ia nampak benar serius berkata seperti itu, perawat lantas berkata "iya mbak sebentar saya sampaikan pada dokter nya ya", aku pun meyakininya, "iya aku ikut kamu ke dalam, kamu baik-baik ya, tunggu, aku setelah ini masuk kedalam juga", ia kembali menutup mata dan tersenyum pagi itu.

Dokter mengijinkanku untuk ikut ke dalam ruang operasi, aku menemani istriku dengan panik dan bumbu-bumbu doa, seperti biasanya, doa apa saja, bahkan bisikanku padanya, ataupun sebaliknya menjadi doa-doa baik sepanjang proses ini.

aku juga harus mengganti pakaianku dengan pakaian standar rumah sakit, setelahnya aku menuju ruang operasi berada, disana sudah dimulai bedah operasi, "ooh... ini ruangan operasi", dalam hati ku berkata lagi, kali kedua aku masuk dengan sadar dan tanpa obat bius, bismillah.

asisten dokter memberikanku tempat duduk tepat disamping istriku, ada 3 dokter jika tak salah, aku dan istriku saling bicara, bicara lewat kontak mata, bicara apa saja, ia tersenyum sesekali, entah apa yang ia pikirkan, tapi tak banyak obrolan yang ia sampaikan, tersisa shalawat dan doa-doa, genggaman tangannya padaku yang begitu lemah, kejujuran semesta yang berkata, aku mulai paham, kasih sayang terkadang tak butuh bicara, seperti inilah adanya, sesekali aku membantunya untuk itu (berdoa), bibirnya seperti sudah lemas tak mampu berbuat apapun, bahkan untuk menunjukkan ia sedang merasakan apa pagi itu.

aku lupa berapa menit aku disana, prosesnya begitu cepat, anakku sudah memberikan kode alamiahnya, yaitu menangis diantara telinga-telinga orang-orang dewasa ini, aku meneteskan air mata, ah.. kamu sudah datang, allahu akbar!, alhamdulillah alhamdulillah alhamdulillah, aku menciumi istriku, itu anak kita, ia tersenyum padaku, balasan yang singkat dan padat yang menunjukkan bahwa ia sudah berjuang sebagai Ibu, akupun mengamini, kamu sudah menjadi ibu dan kamu sudah layak untuk itu.

perawat memanggilku, setelah anakku diukur dan ditimbang, sebelumnya anakku menangis sejadi-jadinya, menangis, tanda-tanda kebesaranNya benar nyata, "Apakah bapak muslim?" tanya perawat padaku, ia Dok, aku pun mengumandangkan Adzan untuk pertama kalinya, anakku diam seketika ketika aku sampaikan kalimat-kalimat Allah pada telinganya langsung, subhanallah..

Bu Ratna, anaknya perempuan, ini bu.. perawat membawanya ke ruang operasi kembali, istriku mencium anaknya secara langsung, aku bangga, bahagia, terharu, ini kamu sayang!.

Bersambung.