Dini hari, sepulang dari berkunjung ke rumah kakek-nenek (keluarga) saya dari bapak di Jember Jawa Timur, setibanya di malang, saya di jemput oleh seorang teman bernama Dwi Rachmanto, awalnya saya mengontak dia untuk menjemput saya di terminal di Kota Malang, tapi ternyata setelah saya sampai disana, dia tidak sendirian, ada beberapa teman yang dia ajak kesana untuk menjemputku, jika tidak salah ada Mukti, Risandy, Ganesha Solomon dan EkaCatra.

Tadinya, saya berencana akan pulang ke Kos untuk langsung istirahat, namun setelah saya sampai di Malang mereka menawari saya untuk menginap langsung menuju kontrakan mereka di daerah watu gong, saya pun mengiyakan ajakan mereka. Mengingat waktu menunjukkan lewat dari Jam 00.00 WIB kami pun pulang dari terminal, di daerah soehat (soekarno hatta) Malang saya meminta teman-teman untuk mampir mampir dulu di sebuah mini market, membeli kopi dan makanan instan sebelum pulang.

Setelah sampai di tempat mereka, kami pun menyempatkan makan terlebih dahulu, membuat kopi dan sebagainya, untuk menutup malam itu, saya pun sangat lelah setelah perjalanan menggunakan transportasi darat dari Jember menuju Malang, teman-teman menyuruh saya untuk beristirahat di kamar atas, tepatnya di kamar Ganesha Solomon, saya pun bergegas menuju kamar, sebelumnya menuju kamar mandi dahulu untuk sekedar cuci muka dan sikat kiki sebelum tidur.

Keesokan harinya, saya pun bangun dari tidur, masih dengan badan yang sedikit kelelahan, ketika saya membuka mata, teman-teman yang lain sudah beraktivitas dengan kesibukannya masing-masing, saya masih meluruskan badan diatas kasur, suara mobil-motor secara acak masuk ke telinga saya yang setengah sadar tanpa rencana apapun hari itu, karena kebisingan itu saya pun bangun dari tidur, hal pertama yang saya kerjakan pagi itu adalah, mengambil gitar dan melemaskan jari saya, sambil memainkan gitar, diluar rumah kesibukan sedang meraja, berlalu lalang mereka dengan berbagai kesibukannya masing-masing.

Menulis adalah sebagian dari kegiatan saya ketika waktu luang/tidak sedang mengerjakan apa-apa, saya putuskan waktu itu untuk mengambil kertas di tas milik saya, saya pun memulai fantasy menarik pagi itu, temanya adalah cerita dari setengah sadar saya ketika bangun tidur sampai saya mengambil gitar milik teman saya di ruangan itu.

Dari suatu pagi itu akhirnya tercipta satu lagu yang berjudul “Salam Untuk Desa” yang beberapa waktu di launching dalam track album KOS ATOS-Luta.

begini lah lirik lagunya

Mentari telah berganti
Berjalan roda tanpa dosa
Reriuhan kota
Disamping para penjaga rasa
Ku tuliskan mimpi dari sepasang
Kaki yang tak lelah mengejar cita
Untuk ayah bunda
Tetaplah disana, harmonikan hidupku
Anginpun bersorai seakan menyapa
Daun dan burungpun bernyanyi
Salam untuk engkau pemilik hati ini
Rasa rindu sepanjang hari
Ku lapangkan doa
Dari reriuhan jarak kota
Salam Untuk Desa”.

Secara umum lagu ini adalah cerita sederhana dalam pikiran saya, yang saya tuangkan dalam tulisan, Inspirasi saat itu muncul dari dalam diri saya, ketika melihat teman-teman saya (sebagai perantau), hari itu juga saya ceritakan dari awal bagaimana pagi itu, suasana riuh sibuknya kota pagi itu, bagaimana jalanan di luar sana pagi itu, dan tentu saja, bumbu rindu adalah yang termanis waktu itu.

Di dalam kontrakan ini, semua teman-teman saya berstatus sebagai mahasiswa, mereka semua ada disini untuk beberapa hal, belajar, menuntut ilmu, bukan hanya untuk mereka sendiri/pribadi, tapi untuk beberapa kebahagiaan yang diharapkan nantinya ketika mereka sukses, untuk doa kedua orang tua dikampung halaman, mereka lahir sebagai perantau ilmu disini.

Lirik “anginpun bersorai, seakan menyapa, daun dan burungpun bernyanyi”, bagian lirik ini saya tulis terinspirasi dari “dhungnging” atau “dongeng”, yaitu cerita rakyat orang-orang tua di Madura, yang beranggapan bahwa, ketika seseorang pergi dari rumah, mereka akan terasa lama di perjalanan, dan aku pun merasa demikian, jalanan sangat panjang ketika saya berangkat, tapi tidak ketika pulang, saya pun bertanya, mengapa? dan Jawaban orang Madura adalah, mereka memiliki opini ketika berangkat, kita “esapah deun”, “esapah, eserrep angin” atau dalam bahasa Indonesia berarti “disapa oleh daun”, “diserap oleh angin”. Dari cerita itulah saya masukkan dan saya tulis ke dalam lirik lagu tersebut, oiya… bahasa dalam lirik bagian ini menggunakan bahasa berdasarkan saran Vigil Kristologus, sahabat saya yang berasal dari Borneo, saya memintanya untuk memasukkan bahasa sehari-hari daerahnya agar terasa berbeda dari bahasa Indonesia umumnya.

Dari Mereka (Sahabat saya) inspirasi saya, Lahirlah “Salam Untuk Desa”, sekali lagi semua ini ada dari ruangan persegi yang berukuran kurang lebih 4 kali 4 meter, dan Anugerah Tuhan pada kesempatan hari itu tepatnya di suatu pagi.